Setelah kerja bareng hampir setahun lebih dalam
menangani Pilkada Gubernur NTB, Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden
(Pilpres), KPU Kabupaten Bima gelar acara perpisahan. Acara itu sekaligus
pembubaran Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
Wawo, Lambu dan Sape. Bagaimana ceritanya, berikut catatan M Nasir Ali.
Anggota PPS dan PPK Wawo saat berpose di sekitar batu memandang suami (Wadu Ntanda Rahi) di Desa Sumi Lambu. (Dok Nasir) |
Siang itu terik mentari
cukup menyengat, namun suasana pantai Papa Desa Lambu Kecamatan Lambu begitu
adem. Tidak terlihat ada gelombang laut yang menerpa tepi pantai, kecuali
riak-riak kecil. Begitu sempurna ciptaan Tuhan, panorama indah nan birunya
pantai Papa memanjakan mata, menyejukan hati. Pikiran seakan diarahkan untuk
terfokus memuji kebesaran dan kekuasaan Allah yang menciptakan alam semesta tanpa
ada tandingannya.
Apalagi, di ujung Timur pantai Papa seakan
terbentang panjang pulau yang berbentuk sebelah paha manusia, meminjam istilah
Ketua KPU Kabupaten Bima, Siti Nursusila. Seakan mengisyaratkan batas
pandang kita manusia hanya di situ. Sabda alam yang asri dan tiupan angin
sepoi-sepoi basah, ditambah hamparan pasir laut dengan warna air laut kebiruan,
menambah “syahwat” beberapa rekan untuk menjamah bibir pantai sejauh kaki
melangkah.
Anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Wawo lebih awal menjamah bibir pantai Papa,
Rabu (10/9) lalu sekitar pukul 10.00 WITA. Anggota PPS, PPK Lambu sebagai tuan
rumah dan PPS dan PPK Sape datang ke pantai Papa hampir bersamaan dengan
Komisioner KPU dan Sekretariat KPU Kabupaten Bima sekitar pukul 12.00 WITA.
Ternyata teman-teman dari Lambu dan Sape lebih
akurat menerima informasi dari Sekretariat KPU Kabupaten Bima, Aidin, SH, MH,
bahwa acara perpisahan KPU dengan PPS dan PPK direncanakan sekitar pukul 13.00
WITA. Jajaran KPU akan berangkat dari kantor sekitar pukul 10.00 WITA.
Tentu saja rekan-rekan saya dari daerah dataran
tinggi Wawo, dongkol karena molornya kehadiran jajaran KPU. Tetapi,
mereka bersabar dan mengambil hikmah pada setiap peristiwa. Terbukti siang itu
dapat menikmati suasana rekreasi di tepi pantai Papa. Tidak hanya itu, sebelum
menjamah bibir pantai Papa anggota PPK Wawo, Drs Andiman, Khairunnas, S.Sos,
Yasin, SH, dan Didi Darmadi serta beberapa anggota PPS, Edy Irfan,
Syahrurrahman, dan M Ali sempat mendatangi batu bersejarah yang dikenal dengan
‘Wadu Ntanda Rahi’ di atas bukit pegunungan Desa Sumi. Di sana mereka sempat
berpose bersama mengabadikan momen penting yang tidak terlupakan itu.
Saya sudah tiga tempat menyaksikan batu
bersejarah yang dikenal dengan Wadu Ntanda Rahi di Bima. Pertama batu Ntanda
Rahi di Doro Bedi Kelurahan Mangge Maci Kota Bima. Dulu sering saya lihat.
Apalagi, saya pernah tinggal di rumah keluarga di Bedi dan Kampung Waki
Kelurahan Mangge Maci.
Ceritera mengenai batu itu melegenda dan kerap
dijadikan dongeng sebelum tidur. Kadang cerita yang didramatisir itu
menyebabkan saya terisak tangis karena ibu saya mampu menghayati frase dan bait
cerita itu dengan apik, sehingga anak-anaknya berlinang air mata. Kini ceritera
itu tidak terdengar lagi, jika tidak ingin disebut hilang samasekali.
Batu kedua ada di pegunungan Desa Raba Kecamatan
Wawo. Saat meninjau kerusakan hutan di Desa Raba saya bersama anggota
Kepolisian Sektor Wawo dan personel Koramil Wawo, meninjau lokasi itu sekitar
tahun 2010. Mereka dikabari mengenai batu Ntanda Rahi itu tepat tempat kami
beristirahat setelah ngos-ngosan mendaki gunung.
Batu yang ketiga di Desa Sumi Kecamatan Lambu
ini. Namun, kedua batu ini belum ada yang menceritakan secara detail mengenai
legenda itu.
Batu yang terakhir ini, tampaknya mirip dengan
wajah manusia dan gemuk, terlihat ada mata, hidung dan pipinya. Letak bantu
Ntanda Rahi itu tidak jauh dari pinggir jalan dan dapat memandang dari kejauhan
pantai Sape, tetapi karena mendaki gunung dalam suasana terik mentari dengan
kondisi gunung Lambu yang kering kerontang, menyebabkan napas kami ngos-ngosan.
Ada beberapa teman sebelum mendaki menuju Wadu
Ntanda Rahi bersantai ria mengambil beberapa biji buah bidara yang ranum. Saya
berada bersama rombongan yang terakhir ini.
Saat saya mengambil buah bidara yang bisa
dijangkau dengan tangan ini, saya teringat masa lalu ketika masih menjadi siswa
MAN 1 Kota Bima sekitar tahun 80-an. Buah bidara ini menjadi incaran saya
setiap Minggu. Saya begitu akrab dengan pohon berduri ini. Meski pohon bidara
ini pernah menyebabkan saya trauma menaiki pohon. Masalahnya, berani naik tak
bisa turun.
Saya pernah diturunkan warga di Kelurahan Dodu.
Dulu ada pohon bidara berusia tua di sekitar mesjid Baiturrahim Dodu II.
Kebetulan rumah saya berdempetan dengan masjid itu. Saya mencoba menaiki pohon
itu. Namun, saat turun takut. Saya nangis dan berteriak minta tolong warga
sekitar. Akhirnya, saya dituntun turun oleh Abubakar, SE, kini pegawai
Pemkab Bima.
Trauma itu hilang setelah tamat SMP. Buah
bidara disukai. Pohon bidara yang biasa dipanjat adalah di kantor Pos Kampung
Suntu Kelurahan Paruga dan seberang jalan dekat KFC menuju MAN 1 Saleko Kota
Bima. Pemilik rumah sekitar kedua pohon bidara itu sudah akrab dengan saya.
Mereka tidak melarang anak-anak memanjat dan memakan buah bidara. Hanya
disarankan agar berhati-hati saat menaiki pohon itu.
Saya dengan rekan-rekan di kampung Ranggo
Kelurahan Nae menyiapkan garam seadanya lalu bersantai ria menikmati buah
bidara yang ranum. Maaf ngelantur ingat masa lalu yang tidak pernah dilupakan.
Usai berpose di Wadu Ntanda Rahi, rekan-rekan
saya menyusuri tepi pantai. Suasana damai dan adem itu dimanfaatkan untuk
berfoto bersama. Namun, karena acara belum dimulai tidak ada yang berani
menceburkan diri di laut. Pandangan mata hanya tertuju pada ombak kecil yang
menerpa bibir pantai yang berwarna biru jernih. Sesekali kami berdecak kagum
menikmati hembusan angin laut serta memandang ke lautan hingga batas pandang
terakhir.
Inilah perjuangan PPS dan PPK Sape saat mendistribusikan kota suara bagi pemilih di seberang lautan. (Dok Nasir) |
Acara perpisahanpun digelar di bibir pantai, ada
yang mengambil posisi duduk di pondokan, ada yang memilih duduk santai di pasir
hitam, sebagian memilih sibuk menyiapkan makanan dan memanggang ayam yang
disiapkan anggota PPS dan PPK Lambu.
Bahkan, ada yang menggelar terpal duduk
melingkar mendengarkan petuah terakhir dari Ketua KPU Kabupaten Bima, Siti
Nursusila. Acara perpisahan itu dipandu oleh Komisioner KPU Kabupaten Bima, Muhammad
Waru, SH, MH dan seluruh komisioner KPU Kabupaten Bima saat itu hadir semua.
Usai acara santapan siang tersedia. Anggota PPK
Lambu, Nurhidayah dan rekan-rekannya telah menyiapkan ayam panggang dengan
sambal spesial khas Bima Doco Foo. Namun, sayang ternyata tidak ada piring.
Solusi yang ditawarkan komisiomer KPU, Juriati, SP, kali ini kita contohi
jamaah tablig makan bareng dengan menggelar plastik merah.
Nasi disimpan di tengah, sedangkan ikan ayam dan
sambal Doco Foo serta sambal lainnya di sisipkan dipinggir plastic. Enaknya
makan bareng dan berebutan. Dua baskom nasi dan beberapa ekor ayam panggang
ludes. Nyaris beberapa kaum hawa yang menyiapkan makan hanya kebagian kepala
dan tulang belulang saja.
Meski sudah dibubarkan anggota PPS dan PPK masih berpose dengan komisioner KPU Kabupaten Bima (Dok Nasir) |
Perpisahan yang indah penuh makna. Ternyata makna
kebersamaan jauh lebih intim dibandingkan dengan kepentingan uang dan duniawi
lainnya. Maka tidak heran Ketua PPK Lambu, Suparni beberapa kali memohon maaf
karena yang tersedia belum sesuai harapan. Nikmati dan menyukuri yang ada pasti
akan dilipatgandakan kenikmatan. Semoga kebersamaan tetap terjaga selalu. (*)